Sejarah Grebeg Besar Demak
Grebeg telah ada sejak 1428 tahun saka (1506 M) pada zaman Majapahit. Secara turun-temurun para Raja Jawa mengadakan upacara peyembelihan seekor kerbau jantan yang masih liar sebagai sesajen kepada dewa atau arwah para leluhur, upacara tersebut disebut Rajaweda. Dengan harapan Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan kemakmuran dan dijauhkan dari malapetaka. Dalam peristiwa ini masyarakat datang menghadap raja untuk menyampaikan sembah baktinya, kemudian raja keluar dari keraton, lalu duduk di singgasana keemasan (dhamar kencono) di bangsal ponconiti sambil diiringi (ginarebeg) oleh putra dan segena punggawa keraton.
Sejak Demak Bintoro dibawah kekuasaan Raden Patah, upacara tersebut dianggap bertentangan dengan ajaran agama Islam. Akhirnya, upacara tersebut dihapuskan. Penghapusan upacara Rajaweda yang telah diadakan selama berabad-abad menimbulkan keresahan sebagian kalangan masyarakat. Mereka khawatir akan timbul wabah penyakit menular akibat dihapuskannya upacara tersebut. Atas saran para wali yang pada saat itu menjadi penasehat Raja Bintoro, kebiasaan lama tersebut dihidupkan kembali. Namun diberi corak berbeda dan tata caranya menurut Islam, yaitu hewan kurban disembelih menurut aturan agama Islam, awal dan akhir doa slamatan berupa doa Islam yang dipanjatkan oleh Sunan Giri dan Sunan Bonang.
Dengan adanya perubahan tersebut, ternyata masih sedikit masyarakat yang enggan untuk bersyahadat sebagai persyaratan memeluk agama Islam. Cara tersebut dianggap gagal dijalankan sebagai upaya mengislamkan masyarakat Demak. Mereka saat itu masih sangat mempercayai adanya kekuatan gaib dari nenek moyang dan masih sangat mempertahankan budayanya. Akhirnya para wali bermusyawarah, lalu menemukan taktik dakwah “TUT WURI ANGISENI” artinya, memakai dan menghormati kebudayaan yang ada.
Melalui hasil keputusan sidang di Serambi Masjid Agung Ampel Dento Surabaya yang ditulis Sunan Bonang dengan Huruf Arab Gondil. Sunan Kalijaga mulai bertindak sebagai pelopor pembaharuan dalam menyiarkan agama Islam dengan media kesenian masyarakat yang hampir mati karena kerajaan Majapahit runtuh.
Setelah Kerajaan Majapahit runtuh, semua benda pusaka milik Prabu Kertabhumi Brawijaya V diboyong ke Demak. Termasuk gamelan Kanjeng Kyai Sekar Delima. Sunan Kalijaga kemudian memanfaatkan gamelan tersebut sebagai media dakwah dan melengkapinya dengan sepaket gamelan baru yang beliau buat. Jadilah sepasang perangkat gamelan yang masing-masing dinamakan Kanjengn kyai Sekati dan Kanjeng Nyai Sekati.
Sunan Kalijaga mengetahui bahwa masyarakat pada saat itu menyukai keramaian, perayaan yang dihubungkan dengan upacara-upacara keagaaman. Apalagi jika perayaan, keramaian itu disertai irama gamelan, tentu akan sangat menarik perhatian mereka untuk datang menghampiri. Timbullah gagasan Sunan Kalijaga terhadap kerajaan untuk menyelenggarakan perayaan, keramaian setiap hari besar islam. Untuk menarik perhatian masyarakat agar mau datang ke Masjid Agung Demak, dibunyikan gamelan di halaman masjid. Lalu, ketika orang-orang pada datang menghampiri dan berkumpul. Pada saat itulah para wali dapat berdakwah langsung dihadapan masyarakat.
Perayaan tradisi Grebeg Besar pertama kali pada masa kesultanan Raden Patah yang dilaksanakan pada tahun 1506 M, pada saat itu sang Raja diikuti oleh para wali, dan punggawa kerajaan keluar dari istana menuju alun-alun dengan membawa makanan dan uang untuk dibagikan kepada masyarakat dan cara undik-undik (sebuah aksi melempar uang receh), sementara mereka saling berebut untuk mendapatkannya. Setelah melakukan ritual ini, raja kemudian kembali ke istana. Sementara para wali berkumpul di Masjid Agung Demak untuk memberikan ceramah.
Seiring berjalannya waktu, perayaan Grebeg Besar telah mengalami beberapa perubahan. Pada tahun 1806, Bupati Demak Condronegoro VI mempunyai ide untuk menggabungkan tradisi Grebeg Besar degan beberapa kegiatan budaya seperti tarian barong hakikat, sopeng syari’at dan ronggeng ma’rifa. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjadi sarana pemberitaan Islam di pendapa Kabupaten Demak. Pada tahun yang sama, ada juga penjamasan pusaka (pencucian pusaka) Sunan Kalijaga yaitu Kotang Ontokusumo dan Keris Kyai Carubuk yang dipegang oleh kasepuhan Kadilangu.
Tradisi Grebeg Besar pernah ditiadakan pada zaman penjajahan Jepang sampai tahun 1950, hingga terus dilestarikan sampai sekarang. Pada tahun 1974, Ki Natosabdu menyarankan adanya prajurit patang puluhan yang dimaksudkan untuk lebih mensakralkan ritual dalam perayaan tradisi Gerbeg Besar. Pada tahun 1976, Drs. Winarna Surya Adisubrata selaku bupati Demak memodifikasi tradisi Gerbeg Besar dengan menambahkan prosesi slametan tumpeng sembilan, yang melambangkan jumlah wali yaitu sembilan orang. Dimana para wali tersebut telah banyak berjasa dalam mensyiarkan agama Islam di tanah Jawa.
Pada tahun 1989, Grebeg Besar dikembangkan kembali atas saran dari bapak Soekamto selaku Kabag Humas Demak. Beliau mengusulkan perayaan Grebeg Besar dibuat lebih menarik dengan ditambahkan tarian Bedhaya. Usulannya disambut baik oleh bupati Demak saat itu, bapak Soekarlan. Ditambahkanlah tarian Bedhaya Tunggal Jiwa yang disajikan dengan sembilan penari untuk mengiringi keluarnya Bupati beserta jajarannya dalam proses penyerahan minyak jamas yang digunakan untuk penjamasan pusaka (Pencucian pusaka).
Tradisi Grebeg Besar masih terus dilestarikan hingga sekarang sebagai wujud uangkapan syukur kepata Tuhan Yang Maha Kuasa atas jasa para wali dalam mensyiarkan agama Islam, khususnya di Demak.
Asal-usul Kotang Ontokusumo
Kotang Ontokusumo adalah sejenis baju tanpa lengan, yang dalam bahasa Jawa disebut kutan. Saat Masjid Agung Demak berdiri dan pertama kali digunakan untuk sholat subuh berjamaah. Seperti biasa, selesa sholat para wali selalu melanjutkannya dengan berdzikir. Tanpa diduga, Sunan Bonang pada saat itu melihat bungkusan yang menggantung di atas mihrob (pengimaman). Segera beliau lantas mencongkel dengan tongkatnya. Tampak setelah dibuka bungkusannya, bungkusan yang terbuat dari kulit kambing tersebut berisi surat dan Kotang Ontokusumo.
Surat tersebut menejelaskan bahwa dalam ritual penjamasan ageman Sunan Kalijaga tidak boleh dilihat orang, sekalipun ahli waris kanjeng sunan sendiri. Seandainya dilanggar, maka akan mendapat bencana. Namun, hal tersebut dikhawatirkan mendorong kearah perbuatan syirik (menyekutukan Tuhan). Maka, penjamasan ageman Sunan Kalijaga diakukan semata-mata untuk merawatnya saja, tidak untuk maksud tertentu.
Keris Kyai Carubuk
Keris Kyai Carubuk merupakan sejata pusaka Kanjeng Sunan Kalijaga, peninggalan Majapahit. Keris ini merupakan karya ketiga dari Empu Supa Madragi atas permintaan Sunan Kalijaga. Beliau memberikan besi seukuran beji asam Jawa sebagai bahan pembuatan keris kepada Empu Supa Madragi. Besipun kemudian dikerjakan oleh Empu Supa Madragi. Tidak lama kemudian, jadilah sebilah keris lalu diserahkan keris tersebut kepada Sunan Kalijaga.
Keris tersebut berbentuk keris Jawa asli Majapahit dengan luk tujuh belas, terlihat begitu indah. Berbeda dengan bayangan Sunan Kalijaga yang menghendaki keris untuk menyembelih kambing. Maka, saat itu pula Sunan Kalijaga memuji keindahan keris tersebut sambil tertawa. Kemudian, Kanjeng Sunan Kalijaga memberikan lagi besi kepada Empu Supa Madragi. Kali ini ukurannya sebesar biji kemiri. Dengan maksud yang sama untuk dibuatkan keris lagi, lalu Empu Supa Madragi mengerjakannya. Setelah selesai, jadilah sebilah keris mirip pedang suduk (seperti golok atau belati). Melihat bentukannya, Kanjeng Sunan Kalijaga sangat senang hati lantas menamai keris tersebut dengan nama “Keris Kyai Carubuk”.
Referensi:
Ahmad, Nur. 2013. PERAYAAN GREBEG BESAR DEMAK SEBAGAI SARANA RELIGI DALAM KOMUNIKASI DAKWAH. https://scholar.google.co.id/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=jurnal+grebeg+besar&oq=#d=gs_qads&u=%23p%3Dl7BOhhxoC78J. Diakses pada Maret 26, 2020.
Muazah, Durrotul. 2019. Pelestarian Tradisi Grebeg Besar Di Demak (19742016): Agensi Pemerintah Kabupaten Demak, Ahli Waris Kadilangu, Dan Masyarakat. https://scholar.google.co.id/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=jurnal+grebeg+besar&oq=jur#d=gs_qabs&u=%23p%3D7fTWEsGcwHQJ. Diakses pada Maret 26, 2020.
Comments