Stratifikasi Sosial (Pernikahan Antarkasta di Bali)
Istilah kasta tidak diatur dalam kitab suci weda. Kata “kasta” itu sendiri dalam bahasa Sansekerta berarti “kayu”. Di Bali, kasta mulai ada semenjak runtuhnya majapahit. Kasta dibuat dan dikemas sesuai dgn garis keturunan Patrinal, diantaranya:
Kasta Brahmana, memiliki kedudukan tertinggi. Memiliki nama depan “Ida Bagus” utk laki-laki, “Ida Ayu” utk perempuan, atau hy “Ida” untuk laki-laki maupun perempuan. Tempat tinggal disebut Griya.
Kasta Ksatriya, memiliki posisi penting dlm pemerintahan dn politik tradisional di Bali. Memiliki nama depan “ Anak Agung, Dewa Agung, Tjokorda, dan ada juga yg menggunakan nama Dewa”. Tempat tinggal disebut Puri.
Kasta Sudra (Jaba), kedudukan sosial paling rendah. Berbicara Sor Singgih Basa dg kasta yg lebih tinggi. Memiliki nama depan “Wayan, Made, Nyoman, Ketut”. Tempat tinggal disebut Umah.
Hubungan Kasta dengan Pernikahan di Bali
Pernikahan atau dikenal dengan “pawiwahan” adalah pengesahan perkawinan dua insan beda jenis antara laki-laki dn perempuan dlm bentuk upacara keagamaan, melakukan janji suci utk menikah dn mengesahkannya ikatan perkawinan tersebut secara hukum, norma agama, dan sosial. Bali sendiri menganut sistem perkawinan Patrilineal, dimana masyarakat mengatur keturunan ataupun ahli waris berdasarkan keturunan ayah atau laki-laki, sedangkan pihak wanita dilepaskan hukumnya dari keluarganya. “Pernikahan dengan kasta berbeda diperbolehkan dengan syarat kasta yang perempuan harus mengikuti yang laki-laki.”
PERTANYAAN SEHUBUNGAN STRATIFIKASI SOSIAL
Apabila kasta istri lebih rendah dari kasta suami
Istri dilepaskan hubungan hukum dengan keluarga aslinya, kemudian masuk dlm lingkungan keluarga suaminya. Secara otomatis kasta istri akan naik mengikuti kasta suami. Itu merupakan kebanggaan tersendiri bagi keluarga perempuan jika berhasil mendapatkan laki-laki dari kasta yang lebih tinggi. Tetapi, dalam hal ini istri harus siap mendapat perlakukan tidak sejajar oleh keluagra suami, diantaranya:
Saat upacara pernikahan, istri tidak akan bersanding dengan suaminya melainkan akan bersanding dengan keris atau banten (persembahan) saja. Sesajen perkawinannya mungkin berbeda dan dipisahkan. Surudan bentennya tidak akan mau dimakan oleh suami dan keluarganya.
Berbahasa, istri harus berbahasa Bali alus bukan hanya kepada suaminya dan keluarga suaminya. Tetapi juga kepada anak-anaknya sementara itu anaknya juga bisa berbahasa kasar kepada ibunya. Sedangkan keluarga istri harus berbahasa Bali halus kepada anak perempuan (istri) yang kastanya telah sejajar dengan suamnya.
Tradisi dan peribadatan, istri dilarang bersembahyang di pura keluarga dan pura kawilanannya dan dilarang untuk nyumbah mayat keluarganya dan orang tuanya jika meninggal nanti. Sedangkan jika nanti si istri meninggal dunia, anak-anaknya dan keluarga suaminya tidak akan dibenarkan untuk memikul mayatnya dalam perjalanan menuju kuburan.
Dibeberapa daerah yg masih sangat kental budayanya, istri harus rela melayani/ mengabdikan diri untuk para ipar dan keluarga suami yang memiliki kasta lebih tinggi. Keharusan-keharusan inilah yang menyebabkan keluarga perempuan yang berkasta rendah memilih lebih baik menikahkan anak perempuannya dengan laki-laki yang bukan orang Bali daripada mengalami kehidupan berkeluarga dengan kasta suami yang lebih tinggi.
Apabila kasta istri lebih tinggi dari kasta suami
Perkawinan dalam masyarakat Bali dimana kasta istri lebih tinggi daripada kasta suaminya disebut Nyerod. Nyerod dalam bahasa Bali diartikan “terpeleset”. Istri juga akan menjalani proses penurunan kasta sesuai kasta suaminya disebut proses Patiwangi. Dimana setelah melalui proses ini, si perempuan akan dikeluarkan dari golongannya dan tidak berhak lagi atas gelar yang sebelumnya disandang dan tidak diizinkan untuk pulang ke rumahnya (griyanya) lagi. Ada 2 jenis perkawinan Nyerod, pertama jika pengantin laki-laki berasal dari golongan tri wangsa (kasta kesatriya dan Waisya) namun menikahi perempuan kasta Brahmana, maka perkawinannya disebut Alangkahi Karang Hulu(melompati kepala). Kedua, laki-laki dari kasta sudra wangsa dengan pemepuan kasta brahmana disebut perkawinan Asu Pundung(Menggendong anjing). Pada zaman dahulu, perkawinan tersebut dianggap menentang hukum alam, karena diartikan dengan melangkahi kepala para bangsawan Bali. Larangan itupun diperkuat dengan adanya sanksi, yaitu penurunan kasta bagi si perempuan, hukum buang keluar Bali (hukum Selong), hukuman labuh gni dan labuh batu.
Apabila bercerai, si perempuan tidak dapat kembali ke rumahnya (griya) maupun tinggal di rumah mantan suaminya atau disebut Ngutang Raga (Ngumbang), tapi sebaliknya pihak laki-laki dapat kembali ke rumahnya lagi. Selain itu, semua gelarnya tidak dapat dikembalikan lagi sehingga perceraian akan menyebabkan si perempuan menjadi terlantar. Dengan terlantanya si perempuan, maka ia kehilangan segala bentuk Swadikara (hak) dan Swadharma (kewajiban)nya.
Tahun 1951, DPRD Bali melalui keputusan Nomor 11 Tahun 1951 mencabut paswara tahun 1910 yang diubah dengan beslit Residen bali dan Lombok tanggal 13 April 1927 Nomor 532. Isinya bahwa kawin beda kasta sudah dihapus, termasuk meniadakan pelaksanaan upacara Patiwangi. Keputusan tersebut juga didukung oleh Pasamuhan Agung Majlis Utama Desa Pakraman (MUDP) yang menjelaskan bahwa perkawinan Nyerod sudah dianggap sebagai perkawinan biasa, dengan prosesi upacara yang dilakukan secara normal.
Dalam masyarakat modern sekarang ini apakah stratifikasi sosial masih penting? Jelaskan!
Masih, stratifikasi masih penting dibutuhkan dalam beberapa aspek sebagai penunjang, bukan sebagai bentuk diskriminasi. Dalam lingkungan yang majemuk seperti ini, tentulah tidak mudah bagai suatu negara mengatur kehidupannya untuk mencapai tujuan pada kesejahteraan tanpa melibatkan stratifikasi sosial. Dalam prosesnya, stratifikasi sosial dibutuhkan pada berbagai bidang. Misalnya dalam bidang kesehatan, stratifikasi sosial dibutuhkan untuk mengelompokkan masyarakat yang berhak mendapatkan bantuan kesehatan sebagai jaminan kesehatan dari negara, sehingga diharapkan masyarakat dapat memperoleh jaminan kesehatan dengan seadil-adilnya. Dicontohkan dengan adanya kartu BPJS Kesehatan, dengan kartu tersebut dimaksudkan agar masyarakat mendapat pelayanan kesehatan secara terjangkau. Di kartu tersebut terdapat beberapa tingkatan kelas, yaitu kelas I, kelas II, dan kelas III yang setiap kelasnya memberikan pelayanan fasilitas yang berbeda. Untuk penggolongan pesertanya didasarkan pada tingkat ekonomi, terdapat 2 kelompok yaitu PBI jaminan kesehatan(pesertanya fakir miskin dan org tdk mampu) dan bukan PBI jaminan kesehatan(pesertanya pekerja penerima upah dan anggota keluarga).
Selain itu, stratifikasi sosial juga berguna dalam mengatur posisi sosial di masyarakat. Posisi-posisi penting di masyarakat akan membutuhkan orang-orang yang ahli atau terkemuka di tiap bidangnya. Kualifikasi tertentu menjadi penyaring yang membedakan posisi setiap orang. Dalam hal ini, pendidikan sosial yang tinggi akan membuat kedudukan sosial menjadi tinggi.
Comments