(Analisis) Putusan MK
Analisis
Putusan MK
Fokus Analisis: Legal
Standing-nya apa? Putusannya apa?
1.
Menguji materi UU
Putusan
28 September 2020 pukul 12:03 WIB
Nomor:
63/PUU-XVIII/2020
Pokok
Perkara: Pengujian Materiin UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terhadap UUD 1945.
Pemohon:
Perkumpulan Aliansi Masyarakat Sipil Blora yang diwakili oleh Seno margo Utomo
(Ketua), Sudarwanto, S.Pd I, Sp. (Sekretaris), dan Iwan Tri Handono (Bendahara,
Sujad, Dr. Umar Ma’ruf, S. H, CN., M.Hum, dkk.
Amar
Putusan MK: Menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima
Status:
tidak dapat diterima
a.
Legal Standing
1) Bahwa
Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
mengatakan bahwa pemohon pengujian undang-undang adalah “pihak yang menganggap
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang”
yang dalam huruf a menyebutkan “perseorangan warga negara Indonesia;” Dalam
penjelasan atas Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang a quo, disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan hak konstitusional adalah “hak-hak yang diatur dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Dengan demikian
sebagaimana telah diuraikan dalam uraian-uraian terdahulu bahwa kedudukan norma
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah sama dengan norma
Undang-Undang, maka istilah “Undang-Undang” dalam Pasal 51 ayat (1) dengan
sendirinya berlaku pula secara mutatis mutandis bagi norma Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang;
2) Bahwa
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang tertuang dalam Putusan Nomor
006/PUU-III/2005 juncto Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 telah memberikan pengertian
dan batasan komulatif tentang apa yang dimaksud dengan “kerugian
konstitusional” dengan berlakunya suatu norma undang-undang dan norma peraturan
pemerintah pengganti undang-undang, yaitu: (1) adanya hak konstitusional
Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945; (2) bahwa hak
konstitusional tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu
undang-undang yang diuji; (3) kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud
bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial
yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; (4) adanya
hubungan sebabakibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya
undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; dan (5) adanya kemungkinan bahwa dengan
dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak
akan atau tidak lagi terjadi;
3) Bahwa
‘kerugian konstitusional’ yang menentukan Pemohon memiliki kedudukan hukum atau
legal standing dalam mengajukan permohonan pengujian undang-undang, terkait
langsung dengan hak-hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
Undang-Undang Dasar 1945, namun tereliminasi dengan berlakunya suatu norma
undangundang atau norma peraturan pemerintah pengganti undang-undang;
4) Bahwa
Pemohon I dalam Pasal 13 Nomor 2 Dewan Pengurus berwenang dalam hal ini Ketua,
Sekretaris, dan Bendahara karena itu berhak mewakili lembaga baik di dalam
maupun di luar pengadilan, tentang segala hal dalam fungsi sebagaiman Pasal 7,
maksud tujuan Pasal 8 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) sehingga memiliki
kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo sebagai badan hukum berupa
lembaga kemasyarakatan yang bergerak di bidang memprakarsai, memfasilitasi, dan
mengembangkan terwujudnya pembagian dana bagi hasil migas blok Cepu bagi daerah
Kabupaten Blora dan mendorong tumbuhnya perhatian, partisipasi, dan komitmen
masyarakat dalam mendukung pelaksanaan program pemerintah di 7 perkumpulan guna
meningkatkan martabat bangsa dan negara Republik Indonesia melalui pembagian
dana bagi hasil migas yang berkeadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia
sebagaimana fungsi sebagaimana Pasal 7, maksud tujuan Pasal 8 ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) akta notaris Nomor 48, akta pendirian Perkumpulan Aliansi
Masyarakat Sipil Blora yang telah terdaftar di kantor Notaris Elizabeth
Estiningsih, S.H. tanggal 08 Agustus 2019;
5) Bahwa
Pemohon I memiliki hak konstitusional yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar
1945 yang mana hak-hak tersebut telah terlanggar atau berpotensi untuk
terlanggar dengan keberadaan Pasal 19 ayat (2) huruf b, dan ayat (3) huruf b,
serta Pasal 20 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, berdasarkan
ketentuan hukum tersebut di atas, kedudukan hukum para Pemohon dalam perkara a
quo dikualifikasikan sebagai perorangan warga negara Indonesia dan badan
perkumpulan yang telah dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
[dijabarkan pasalnya 33 dan 28 (haknya di UU)];
6) Bahwa Pemohon I telah beberapa melakukan
permohonan audensi kepada pemerintah daerah Blora namun tidak mendapatkan
jawaban dan kepastian atas permohonan in casu, namun para Pemohon tetap
memperjuangkan hak dan atas kerugian-kerugian konstitusi di bawah;
7) Bahwa
Pemohon I kemudian mengajak dan bekerja sama dengan Pemohon VIII Pasal 12 ayat
(3) dan dalam usaha-usaha Pasal 5 poin 1 sebagaimana akta notaris Nomor 175
tanggal 30 April 2007 yang telah terdaftar di kantor notaris Ikke Lucky A.,
S.H. dan telah didaftarkan di Kepaniteran Pengadilan Negeri Sukoharjo Nomor
8/2007/PN.SKH. tanggal 03 Mei 2007 dan Pemohon IX sebagaimana akta pendirian
notaris Hafid, S.H. Nomor 01 tanggal 06 September 2014 pada “azas, maksud, dan
tujuan” Pasal 3, ayat (2), ayat (3), dan ayat (6) huruf d, huruf g, dan huruf h
untuk bersama-sama mengadvokasi dalam mengajukan pemohonan pengujian
undang-undang in casu;
8) Bahwa
pada tanggal 20 Juli 2011, Presiden setelah mendapatkan persetujuan dari Dewan
Perwakilan Rakyat, mengundangkan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226)
[selanjutnya disebut UU Mahkamah Konstitusi];
9) Bahwa
Hak ekonomi yang sering kali muncul menyangkut Pasal 33 Undang-Undang Dasar
1945, ialah tentang aturan pelaksanaannya yang lahir dalam bentuk
undang-undang, yaitu tentang bagaimana peranan negara dalam penguasaan sumber
daya alam (ekonomi) yang ada. Hak negara dalam menguasai sumber daya alam dijabarkan
lebih jauh dalam beberapa undang-undang yang mengatur sektor-sektor khusus yang
memberi kewenangan luas bagi negara untuk mengatur dan menyelenggarakan
penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan sumber daya alam, serta mengatur
hubungan hukumnya;
Akibat pesatnya kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern, halhal yang bersifat ekonomi yang terkait
dengan wilayah penghasil sumber daya alam juga harus diperhitungkan dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup dalam memahami ketentuan Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4 dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat
(3) dan ayat (4) itu. Karena itu, Undang-Undang Dasar yang dirumuskan masa lalu
haruslah dilihat sebagai dokumen yang hidup (living
constitution) dan kandungan maknanya terus tumbuh dan berkembang (elvolving constitution);
Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung
di dalamnya digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, menegaskan daulat
rakyat dan posisi rakyat yang substansial (utama). Di sini demokrasi ekonomi
memperoleh justifikasinya, yaitu bahwa kepentingan masyarakat lebih utama dan
kepentingan orang-orang;
10) Bahwa
atas Pasal 19 ayat (2) huruf b, dan ayat (3) huruf b, serta Pasal 20 ayat (2)
huruf b Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah yang selengkapnya berbunyi:
(2) |
Dana
Bagi Hasil dari Pertambangan Minyak Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
huruf e angka 2 sebesar 15% (lima belas persen) dibagi dengan rincian sebagai
berikut: a.
3% (tiga persen) dibagikan untuk
provinsi yang ber-sangkutan; b.
6% (enam persen) dibagikan untuk
kabupaten/kota penghasil; dan c.
6% (enam persen) dibagikan untuk
kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. |
(3) |
Dana
Bagi Hasil dari Pertambangan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
huruf f angka 2 sebesar 30% (tiga puluh persen) dibagi dengan rincian sebagai
berikut: a.
6% (enam persen) dibagikan untuk
provinsi yang bersangkutan; b.
12% (dua belas persen) dibagikan
untuk kabupaten/kota penghasil; dan c.
12% (dua belas persen) dibagikan
untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi bersangkutan. |
Pasal 20
(2) |
“Dana Bagi Hasil dari Pertambangan
Minyak Bumi dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf e angka 2
dan huruf f angka 2 sebesar 0,5% (setengah persen) dialokasikan untuk
menambah anggaran pendidikan dasar”. |
(3) |
“Dana Bagi Hasil sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dibagi masing-masing dengan rincian sebagai berikut: a.
0,1% (satu persepuluh persen)
dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan; b.
0,2% (dua persepuluh persen)
dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil; dan c.
0,2% (dua persepuluh persen) dibagikan
untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan”. |
11) Bahwa
para Pemohon menganggap frasa “Kabupaten/Kota Penghasil” dalam Pasal 19 ayat
(2) huruf b, dan ayat (3) huruf b, serta Pasal 20 ayat (2) huruf b
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 memiliki kelemahan yang berdampak pada adanya
kabupaten/kota dalam satu Wilayah Kerja (WK) yang tidak mendapatkan alokasi
Dana Bagi Hasil (DBH). Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Pasal 1 menyebutkan
bahwa Wilayah Kerja adalah daerah tertentu di dalam Wilayah Hukum Pertambangan
Indonesia untuk pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi, artinya sebelum
mendapatkan hasil dari kegiatan eksploitasi terlebih dahulu dilakukan kegiatan
eksplorasi yang mencakup wilayah yang lebih luas dari Kabupaten/Kota Penghasil;
12) Bahwa
dimaknai pengusahaan dan pemanfaatan sumber daya alam pertambangan harus
berdampak untuk peningkatan kesejahteraan hidup 10 masyarakat dalam hal ini
termasuk kabupaten/kota dalam Wilayah Kerja (WK) penghasil, sehingga dapat
meningkatkan mutu kehidupan masyarakat;
13) Bahwa
para Pemohon mengajukan permohonan karena terdapat pertentangan antara
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4 dan Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) dengan Pasal 19 ayat (2) huruf b, dan ayat (3)
huruf b, serta Pasal 20 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah agar
frasa “kabupaten/kota penghasil” ditambahkan menjadi “kabupaten/kota dalam
Wilayah Kerja (WK) penghasil” agar tidak bertentangan dengan Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4 dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat
(3) dan ayat (4), yang menyatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan
berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional;
14) Bahwa
agar seorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon dalam permohonan
pengujian Undang-Undang terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, maka orang atau pihak dimaksud haruslah:
a. Menjelaskan
kualifikasinya dalam permohonannya yaitu apakah sebagai perorangan warga negara
Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum, atau lembaga negara;
b. Kerugian
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, dalam kualifikasi sebagaimana
dimaksud pada huruf (a) sebagai akibat diberlakukannya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian
b.
Putusan
MK
Berdasarkan penilaian atua fakta dan
hukum sebagaimana diuraikan, MK berkesimpulan:
1. MK
berwenang mengadili permohonan a quo;
2. Para
pemohon tidak memiliki kedudukan hukum;
3. Permohonan
para pemohon tidak dipertimbangan lebih lanjut.
Menyatakan bahwa, permohonan para
pemohon tidak dapat diterima.
2.
Pembubaran Partai Politik
3.
Sengketa Hasil Pemilu
Putusan
23 Oktober 2019 pukul 10:42 WIB
Nomor:
251-05-12/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019
Pokok
Perkara: Perselisihan Hasil Pemilihan Umum DPRD-DPD Provinsi Jawa Barat (Jabar)
Tahun 2019
Pemohon:
Partai Nasdem
Amar
Putusan: Menyatakan Permohonan Pemohon tidak dapat diterima
Status:
Tidak dapat diterima
a.
Legal Standing
1) Bahwa
berdasarkan Pasal 74 ayat (1) huruf c UU MK, Pemohon adalah Partai Politik
peserta pemilihan umum dan berdasarkan Pasal 74 ayat (2) huruf c UU Mahkamah
Konstitusi, permohonan hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil pemilihan
umum yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum;
2) Bahwa
berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2018
tentang Tata Beracara Dalam Penyelesaian Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(selanjutnya disebut PMK 2/2018), Pemohon dalam perkara PHPU anggota DPR dan
DPRD adalah partai politik peserta Pemilu/perseorangan calon anggota untuk
pengisian keanggotaan DPR dan DPRD;
3) Bahwa
berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor
309/PL.01.1-Kpt/03/KPU/IV/2018 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 58/PL.01.1-Kpt/03/KPU/II/2018 tentang Penetapan Partai
Politik Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota Tahun
2019 bertanggal 13 April 2018, menyatakan Pemohon (Partai NasDem) adalah Partai
Politik peserta Pemilihan Umum Anggota Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota Tahun
2019. (vide bukti P-2);
4) Bahwa
berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 59/PL.01.1-Kpt/03/KPU/II/2018
tentang Penetapan Nomor Urut Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Tahun 2019 bertanggal 18 Febuari 2018,
menyatakan Pemohon (Partai NasDem) adalah salah satu Partai Politik Peserta
Pemilu Tahun 2019 dengan Nomor Urut 5 (lima). (vide bukti P-3);
5) Bahwa
berdasarkan uraian tersebut di atas, Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan pembatalan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor
1315/PL.01.8-Kpt/06/ KPU/VIII/ 2019 tentang Perubahan Atas Keputusan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 987/PL.01.8-Kpt/06/KPU/2019 tentang Penetapan Hasil
Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Daerah Provinsi, Dan Dewan Perwakilan
Rakyat Kabupaten/Kota Secara Nasional Dalam Pemilihan Umum Tahun 2019
bertanggal 31 Agustus 2019;
b.
Putusan
MK
Berdasarkan penilaian atas fakta dan
hukum, MK menyimpulkan:
1. MK
berwenang mengadili permohonan a quo;
2. Pemohon
memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo;
3. Permohonan
diajukan masih dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan.
4. Eksepsi
termohon sepanjang berkenaan dengan permohonan tidak jelas atau kabur beralasan
menurut hukum;
5. Eksepsi
termohon selain dan selebihnya tidak beralasan menurut hukum;
6. Pokok
permohonan pemohon tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
Comments