Analisis Nilai-Nilai Pancasila dalam Biografi Fatmawati


            Seorang wanita hebat yang dikenal bangsa dengan nama Fatmawati yang berarti, Bunga Teratai ini lahir pada hari senin, 5 Februari 1923 pada pukul 12.00 di kota Bengkulu. Fatmawati merupakan putri tunggal dari pasangan H.Hassan Din dan Siti Chadidjah. Orang tuanya merupakan keturunan Putri Indrapura, salah seorang keluarga raja dari Kesultanan Indramayu, Pesisir Barat Sumatra Barat. Ayahnya merupakan salah seorang aktivis terkemuka organisasi Muhammadiyah di Bengkulu pada zaman itu.
            Di masa kecilnya, bibit jati diri dengan prinsip yang teguh dan kokoh, disertai semangat kemandirian yang kuat telah tersemai dalam diri seorang Fatmawati. Pengaruh sosialiasi melalui ajaran dan pengalaman dalam kehidupan keluarga dan lingkungan sosial telah mampu membentuk karakter Fatmawati menjadi seorang anak yang tidak sekedar patuh pada tradisinya, tetapi lebih cenderung untuk menyikapi segala bentuk potret kehidupan sosio-kulturalnya.
            Sebelum memasuki usia sekolah, Fatmawati kecil ini telah menempa diri dengan “ngaji” belajar agama (membaca dan menulis Al-qur’an) pada sore hari baik kepada datuknya (kakeknya), maupun kepada seorang guru agama, di samping membantu mengurus pekerjaan orang tuanya. Semangat untuk belajar agama secara ekstra terutama di Sekolah Standar Muhammadiyah masih terus dilakukan meskipun sudah mulai memasuki sekolah di HIS (Hollandsch Inlandsch School) pada tahun 1930. Sejak kecil ia telah menyukai kegiatan organisasi, bahkan ia juga aktif dalam organisasi Naysatul Asyiyah (organisasi perempuan dibawah Muhammadiyah). Jadwal belajar yang padat dengan pemandangan sehari-hari selalu dijadikannya sebagai bahan ajaran bagi kehidupannya. Bersekolah sambil berjualan untuk membantu meringankan beban orang tuanya, menunggu warung, serta berobat sendiri ke rumah sakit, merupakan bukti diri akan semangat kemandirian serta rasa percaya diri yang matang, dan untuk ukuran usia yang baru menginjak tujuh tahun.
            Beranjak usia 15 tahun, Fatmawati melanjutkan pendidikannya di sekolah yang dikelola oleh organisasi katolik. Dilain sisi, perkenalan Fatmawati dengan Soekarno terjadi sejak Soekarnno dipindahkan ke tempat perasingan di daerah Flores, NTT. Saat itu Bung Karno bekerja sebagai seorang pengajar di sekolah Muhammadiyah dan Fatmawati saat itu menjadi siswanya. Muncul ketetarikan soekarno terhadap Fatmawati, hingga timbul kecemburuan oleh Inggit Garnasih yang saat itu adalah istri soekarno. Sebagai akibatnya, timbullah suasana rikuh di antara keduanya yang menyebabkan berakhirnya rumah tangga mereka pada pertengahan 1943. Soekarno memulangkan kembali Inggit ke Bandung.
            Pada tanggal 1 Juni 1943, Fatmawati kemudian menikah dengan Soekarno, menjadi istri yang ketiganya. Fatmawati mendampingi Soekarno melewati masa-masa pendudukan Jepang di Jakarta. 
            Pada tahun 1945 setelah Jepang Menyerah pada sekutu, terjadi permasalahan yang cukup hebat sampai muncul berita bahwa soekarno dan Hatta menghianati bangsa Indonesia. Namun berita itu hanyalah bualan yang dibuat oleh Jepang. Hingga pada suatu malam, Soekarno dibawah ke Renggas Dengklok dan disuruh oleh para pemuda untuk segera memplomasikan kemerdekaan. Pada saat itu sudah banyak pemuda yang berkumpul di depan rumah Fatmawati. Dan akhirnya Bung Karno dan Bung Hatta keluar untuk mengatakan bahwa semuanya sudah dipersiapkan. Melihat hal tersebut ibu Fatmawati akhirnya mengambil kain yang telah ia jahit sendiri, kain bahan bendera tersebut diterimanya dari seorang pemuda bernama Chaerul Bisri.
            Saat itu pada hari Jumat di bulan Ramadhan pukul 05:00, fajar di tanggal 17 Agustus 1945 para pemimpin bangsa dan para tokoh pemuda keluar dari rumah Laksamana Maeda dengan diliputi rasa bangga setelah merumuskan Teks Proklamasi hingga dini hari. Mereka telah sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia pada hari itu di rumah Soekarno yang terletak di Jalan Pegangsaan Timut No.56 Jakarta. Dan tepat pada pukul 10.00, dengan suara tegas, mantap dan jelas Soekarno membacakan teks proklamasi, hingga pekik Merdeka pun berkumandangan dimana-mana.
            Dan saat itulah untuk pertama kali bendera Indonesia dikibarkan. Peran Fatmawati menjelang detik-detik proklamasi kemerdekaan yaitu menjahit bendera sang saka merah putih, dan memberikan kepada bendera tersebut kepada seorang pemudi bernama S.K Trimurti yang membawa nampan dan menyerahkan bendera pusaka kepada Latief Hendraningrat dan Soehoed untuk dikibarkan pada saat berkumandangnya lagu Indonesia Raya. Bendera tersebut hingga saat ini masih tersimpan di Monumen Nasional Indonesia.
             Saat  Indonesia merdeka dan Soekarno menjadi presiden, Fatmawati dihadapkan pada peran baru sebagai ibu negara. Pada akhir tahun 1945, Ketika situasi pasca-kemerdekaan jadi memanas dengan semakin seringnya perlawanan dan kontak senjata antara pejuang republik dan tentara Belanda. Dalam situasi genting seperti itulah Fatmawati berdiri di antara peran istri dan ibu negara. Ia harus membiasakan diri hidup berpindah dan terpisah dari Soekarno demi menghindari penangkapan Belanda.
            Saat pusat pemerintahan dipindah ke Yogyakarta, peran Fatmawati sebagai ibu negara makin terasa. Jika fokus Soekarno pada soal-soal politik dan pemerintah, Fatmawati mendukungnya dengan mengurus rumah tangga istana. Ia juga tak canggung ikut mengurus keperluan pasukan gerilya. Ia memasak makanan yang awet untuk dikirim ke front. Sekali waktu, ia pergi sendiri berbelanja tanpa pengawalan, padahal saat itu Fatmawati sedang mengandung.
            Dalam, Fatmawati juga kerap mendampingi Bung Karno berkunjung ke beberapa daerah. Tak hanya sebagai pendamping, ia tampil berpidato menyemangati massa rakyat seperti yang terjadi dalam kunjungan ke Cirebon. Melihat istrinya, Soekarno tampak senang dan bangga atas keberanian Fatmawati.
            Sesudah revolusi, peran Fatmawati bertambah sentral. Ketika pemerintahan kembali lagi ke Jakarta, Fatmawati kembali jadi pengatur Istana Merdeka yang terbengkalai. Selain itu, Ia juga ikut dalam perjalanan Presiden Soekarno ke luar negeri. Ia piawai membangun kedekatan dan berdiplomasi dengan pemimpin-pemimpin negara sahabat Indonesia seperti Perdana Menteri India Nehru dan Perdana Menteri Pakistan Begun Aga Khan.
            Peran Fatmawati sebagai first lady berakhir saat dirinya memutuskan untuk keluar dari Istana Merdeka sekitar tahun 1955 dikarenakan telah mengetahui bahwa soekarno menikah lagi dengan Hartini pada pertengahan 1954. Hal itu tentu melukai hati Fatmawati sebagai wanita yang meneguhkan prinsipnya untuk menolak sebuah tradisi yang bernama poligami, yang dianggap sangat tidak menguntungkan bagi kedudukan dan peranan wanita dalam kehidupan sosialnya.Fatmawati lebih memilih keluar dari Istana dan menanggalkan statusnya sebagai ibu negara untuk prinsipnya itu. Pernikahan Ibu Fatmawati dan Presiden Soekarno berakhir dengan dikaruniai 5 Orang putra dan putri yaitu Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri dan Guruh Soekarnoputra.
            Diakhir hidupnya, Ibu Fatmawati wafat pada tanggal 14 Mei 1980 pada usia 57 di Kuala Lumpur karena serangan jantung ketika dalam perjalanan pulang umroh dari Mekkah. Ibu Fatmawati dimakamkan di Karet Bivak, Jakarta. Untuk mengenangnya saat ini nama Fatmawati digunakan sebagai nama Rumah Sakit di Jakarta, nama Fatmawati Soekarno juga dipakai sebagai nama bandara udara di Bengkulu, yaitu kota kelahiran Fatmawati.

ANALISIS:
1.      Sila 1
·         Belajar nilai-nilai keagamaan sejak dini
Kegiatan “ngaji” belajar agama (membaca dan menulis Al-qur’an) dilakukan Fatmawati kecil pada sore hari baik kepada datuknya (kakeknya), maupun kepada seorang guru agama. Ia sangat Semangat untuk belajar agama secara ekstra terutama di Sekolah Standar Muhammadiyah, meskipun sudah mulai memasuki sekolah di HIS (Hollandsch Inlandsch School) pada tahun 1930.
·         Toleransi terhadap agama lain
Dalam hal pendidikan, bu fatmawati pernah bersekolah di sekolah yang dikelola oleh organisasi katolik. Meskipun demikian, ia tidak mempermasalahkan kepercayaannya dengan pendidikan akademik yang ia tempuh. Ibu Fatmawati memahami bahwa pendidikan akademik dan masalah agama itu tidak bisa disamakan. Ia tetap fokus pada pendidikan akademiknya dan menerima lingkungan beajarnya meskipun ada perbedaan dalam hal keyakinan agama.
·         Menjalankan ibadah sesuai ajaran islam
Selain mengaji dan belajar agama di sekolah dan dalam organisasi, ibu Fatmawati sebelum akhir hayatnya juga sempat menjalankan ibadah umrah ke makkah sebagai bagian untuk mendekatkan diri kepada Allah.
2.      Sila ke 2
·         Semangat belajar dan berbakti kepada orang tua.
Di samping membantu mengurus pekerjaan orang tuanya. Semangat untuk belajar agama secara ekstra terutama di Sekolah Standar Muhammadiyah masih terus dilakukan meskipun sudah mulai memasuki sekolah di HIS (Hollandsch Inlandsch School) pada tahun 1930. Jadwal belajar yang padat dengan pemandangan sehari-hari selalu dijadikannya sebagai bahan ajaran bagi kehidupannya. Bersekolah sambil berjualan untuk membantu meringankan beban orang tuanya.
·         Bertanggung jawab terhadap perannya sebagai seorang ibu rumah tangga dan ibu negara.
Pada akhir tahun 1945, Ketika situasi pasca-kemerdekaan jadi memanas dengan semakin seringnya perlawanan dan kontak senjata antara pejuang republik dan tentara Belanda. Dalam situasi genting seperti itulah Fatmawati berdiri di antara peran istri dan ibu negara. Ia harus membiasakan diri hidup berpindah dan terpisah dari Soekarno demi menghindari penangkapan Belanda.
Saat pusat pemerintahan dipindah ke Yogyakarta, peran Fatmawati sebagai ibu negara makin terasa. Jika fokus Soekarno pada soal-soal politik dan pemerintah, Fatmawati mendukungnya dengan mengurus rumah tangga istana. Ia juga tak canggung ikut mengurus keperluan pasukan gerilya. Ia memasak makanan yang awet untuk dikirim ke front. Sekali waktu, ia pergi sendiri berbelanja tanpa pengawalan, padahal saat itu Fatmawati sedang mengandung.
3.      Sila Ke 3
·         Memahami tradisi dan kehidupan sosial dalam masyarakat
Pengaruh sosialiasi melalui ajaran dan pengalaman dalam kehidupan keluarga dan lingkungan sosial telah mampu membentuk karakter Fatmawati menjadi seorang anak yang tidak sekedar patuh pada tradisinya, tetapi lebih cenderung untuk menyikapi segala bentuk potret kehidupan sosio-kulturalnya.
·         Cinta tanah air
Keterlibatan ibu Fatmawati dalam proses persiapan proklamasi merupakan bentuk dukungan akan kemerdekaan Indonesia. Ibu Fatmawati terlibat dalam hal pembuatan bendera merah putih yang dikibarkan pada saat proklamasi kemerdekaan. Ia memperoleh kain bahan bendera tersebut dari seorang pemuda bernama Chaerul Bisri, yang kemudian ibu Fatmawati jahit sendiri.
4.      Sila ke-4
·         Mendukung kepemimpinan Soekarno mengemban tugas sebagai presiden Indonesia.
Sebagai seorang istri presiden, Ibu Fatmawati juga kerap mendampingi Bung Karno berkunjung ke beberapa daerah. Tak hanya sebagai pendamping, ia tampil berpidato menyemangati massa rakyat seperti yang terjadi dalam kunjungan ke Cirebon. Melihat istrinya, Soekarno tampak senang dan bangga atas keberanian Fatmawati.
·         Berdiplomat untuk kepentingan bangsa dan negara
Fatmawati ikut dalam perjalanan Presiden Soekarno ke luar negeri. Ia piawai membangun kedekatan dan berdiplomasi dengan pemimpin-pemimpin negara sahabat Indonesia seperti Perdana Menteri India Nehru dan Perdana Menteri Pakistan Begun Aga Khan.
5.      Sila ke 5
Sikap kemandirian dan kesederhanaan Fatmawati telah terbentuk sejak ia masih kecil, dan terus belanjut walaupun ia  Fatmawati telah menjadi ibu Negara. Ia memperlakukan ajudan-ajudannya secara manusiawai. Seperti contoh, ketika persiapan perang grilya ia tidak canggung ikut serta membantu di bagian memasak bersama tukang masak lainnya.



 DAFTAR PUSTAKA






Comments

Popular posts from this blog

Mengubah Hikayat Menjadi Cerpen_Hang Tuah

Analisis Cerpen (Makalah)

Teks Drama PMR(Tsunami)